Oleh KOMPAS.com — Judul di atas dipungut dari usul Dr Karlina Supelli, yang disampaikan dalam diskusi buku Menjadi Bangsa Terdidik. Pembelajar menekankan proses yang tidak pernah selesai, lebih dari kata terdidik. Orang kerap merasa sudah selesai karena sudah berpendidikan, sudah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Untuk pembelajar, kata Karlina, Soedjatmoko menggunakan kata-kata ”kemampuan kolektif seluruh bangsa untuk belajar”, seraya menegaskan ”keharusan untuk belajar bersama terus-menerus”. Catatan singkat ini tidak ingin mempersoalkan relevan tidaknya pemikiran Soedjatmoko. Itu sudah merupakan keniscayaan. Tetapi, mau menggarisbawahi usul Karlina. Tidak terutama menyangkut judul buku, tetapi tentang perlunya paradigma tidak sampai tingkat metodologi memberikan tempat kepada pemikiran-pemikiran menerobos terbang tinggi. Cara berpikir ini mungkin tidak langsung memberikan solusi atas persoalan aktual; melainkan lebih mengajak orang memiliki pemahaman mendalam, sehingga paham betul duduk soalnya, sementara solusi diharapkan muncul dari hasil eksplorasi persoalan. Setelah satu per satu pemikir menerobos terbang tinggi meninggal dan jagat pemikiran didominasi pragmatisme (Peirce dan William James), semua pemikiran yang berkembang belakangan ini langsung menampilkan solusi, menawarkan jalan keluar tanpa lebih dulu mengkajinya dari berbagai dimensi dan nuansa. Cendekiawan dan ilmuwan Indonesia, apalagi politisi praktis, tidak jauh beda dari aktivis. Yang kita saksikan tak ada lagi pemikir-pemikir besar semacam Sartono Kartodirdjo, memungut contoh yang namanya identik dengan penganjur mesu bud, asketisme intelektual. Asketisme intelektual, ya, itulah kata suci yang telah dihidupi Soedjatmoko. Lewat pemikiran-pemikiran yang menjebol dengan berpijak pada kemanusiaan dalam konteks sosialitas masyarakat manusia, ia terus-menerus belajar. Pendidikan dalam konsep Soedjatmoko adalah ranah untuk berbagi pengalaman batin dengan sesama anggota masyarakat. Tidak ada satu pun persoalan bangsa yang lepas dari perhatian, telaah, dan tawaran jalan keluarnya. Peristiwa 1965-1966, ada yang mengkritik lepas dari perhatian Soedjatmoko, bagi Soedjatmoko menunjukkan rapuhnya struktur sosial masyarakat majemuk. Dari sana muncul keyakinan tentang kebutuhan mekanisme efektif bagi resolusi konflik dan ketangguhan sosial, tepatnya daya lenting (resilience) masyarakat. Daya lenting membuat sebuah bangsa bertahan bukan karena paksaan stabilitas dari luar diri, melainkan bersumber dari dalam dirinya. Uraian Karlina mengingatkan sosok Soedjatmoko lewat karya-karyanya, masih banyak yang belum dipublikasikan dan tersimpan rapi di rumah keluarga, juga pertemuan-pertemuan secara fisik dalam berbagai kesempatan selagi Soedjatmoko—Pak Koko—masih hidup (10 Januari 1922-meninggal 21 Desember 1989). Satu di antaranya harapan Koko terhadap peranan agama untuk mengatasi berbagai persoalan dunia. Tentu ini hanya salah satu proses belajar, saat ia menyaksikan persoalan keprihatinan yang membelit dunia. Disampaikan dalam sebuah seminar terbatas, di Wisma Kompas, Pacet, 1-2 September 1989. Dalam diskusi itu Koko mengisahkan pertemuannya dengan Paus Yohanes Paulus II di Roma dengan topik nilai hak asasi manusia. Waktu yang disediakan 10 menit, tetapi pertemuan berlangsung sampai satu jam lebih. Di antaranya mereka berdua sepakat, para agamawan sudah lama dijajah oleh para pakar. Para pakar telah mendefinisikan masalah-masalah yang dihadapi, sementara yang seharusnya para agamawan merumuskan lebih dulu masalah dari segi moral dan baru para pakar memberikan jawaban. Para agamawan sendiri tidak mampu merumuskan persoalan hak-hak dasar manusia dan angkat tangan terhadap kemerosotan moral yang terjadi. Apa makna sepotong kisah di atas? Koko senantiasa berpikir keras untuk kemajuan bangsa ini, bahkan nyaris jadi obsesi yang terlihat dari serakan warisan karyanya. Baginya ilmu harus bermanfaat untuk perubahan dan perbaikan hidup masyarakat, sama seperti yang dianjurkan Antonio Gramsci untuk sebutan intelektual organis. Meskipun Koko masuk dalam kategori itu, tentu simpel sekali kalau lantas dia dimasukkan dalam kelompok intelektual organis. Koko, dalam memberikan gambaran dan menawarkan jalan keluar, jauh dari maksud dan latar belakang sebagai penasihat pemerintah. Memang ilmu pengetahuan harus bermanfaat bagi kemajuan masyarakat dan pemikiran-pemikiran yang dijabarkannya dimaksudkan juga untuk kebijakan pemerintah dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Yang terlihat, pemikiran Koko bercabang-cabang, antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif, antara jalan agama dan nonagama, antara rasionalitas nalar dan irasionalitas emosi, antara tradisi dan modernitas. Kedua entitas itu merupakan dua kutub sebagai realitas yang niscaya, menjadi pembatas ruang terbuka bagi pemikiran-pemikiran menerobos, terayun-ayun dalam sebuah irama yang padu untuk kemajuan masyarakat. Dalam berpikir, Koko tidak melupakan faktor sejarah. Dia bukan seorang ahistoris—istilah yang kemudian diperkenalkan di Indonesia oleh, antara lain, Arief Budiman. Realitas sejarah dia taruh sebagai bagian dari berpikir yang holistik, tidak sepenggal-sepenggal hanya demi kepentingan pragmatis. Meminjam istilah Karlina mengacu pada kebutuhan saat ini, Koko barangkali seorang sosok yang diharapkan oleh Daoed Joesoef sebagai ”seorang spesialis dalam konstruksi keseluruhan”. Koko tampil sebagai pemikir tidak hanya lewat pendekatan multidisiplin atau lintas disiplin, tetapi terutama pendekatan transdisiplin, peleburan berbagai disiplin keilmuan dalam satu pengertian untuk membentuk keterpaduan pendekatan mengenai suatu masalah. Dalam karya-karya Koko, termasuk yang dibukukan dalam Asia di Mata Soedjatmoko, kata panelis Mohtar Mas’oed, terlihat politik sebagai sarana penting menyelesaikan persoalan publik. Politik adalah panggilan, bukan sekadar profesi yang hanya memerlukan kepiawaian memenangi pemilu. Demokrasi bagi Koko adalah variabel independen bahwa kemajuan kehidupan materiil tidak mungkin tercapai tanpa kemerdekaan berpikir, berbalikan dengan pengartian umum bahwa demokrasi sebagai variabel dependen—demokrasi bergantung pada tingkat kemajuan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, tingkat pendidikan, dan stabilitas keamanan. Demokrasi bukan juga sekadar masalah kebijakan publik. Demokrasi memerlukan praktik politik demokratik dan itu memerlukan politisi. Ya, dari sisi ini Koko juga seorang politisi. Lewat posisinya sebagai cendekiawan dia menawarkan solusi dengan cara mengajak setiap individu berusaha menemukan solusi. Ia pun ibarat seorang pendidik yang mengajak masyarakat berpikir tentang posisi manusia Indonesia di tengah masyarakat dunia. Karena itu, analisisnya selalu aktual, tidak dalam arti persoalan, tetapi dalam arti cara mendekati soal. Cara berpikir demikian membuat pemikiran Koko selalu terarah untuk kebaikan umum, menjadi metode mendekati persoalan aktual. Sosok Soedjatmoko tidak saja tampil ilmuwan asketis, tetapi juga ilmuwan yang berangkat dengan empati atas kekerdilan bangsa Indonesia. Dengan pemikiran seperti itulah tanpa sadar, ia tampil sebagai futurolog semacam Alfin Toffler dan Paul Aburdene. Jabatan dua periode sebagai Rektor Universitas PBB memberikan kesempatan bagi Soedjatmoko untuk mengenal manusia dan masyarakat manusia sebagai entitas yang harus dipahami bersama, bukan terkotak-kotak, yang obses bagi kemajuan bersama.
http://edukasi.kompas.com/read/2010/02/04/07125289/Menjadi.Bangsa.Pembelajar